BAGIAN 1
Kadang manusia begitu merasa kurang terhadap apa yang ia inginkan dari Tuhan, padahal sebenarnya ia telah begitu banyak mendapatkan apa yang ia butuhkan.
Savindra melangkahkan kakinya dengan cepat. Berlari menyongsong angkotpertama yang mendekati langkahnya. Sudah pukul 07.25 waktu di jam digitalnya, sepertinya ia akan terlambat lagi mengikuti kelas Pak Raihan. Savindra menghela napasnya dalam-dalam, berharap sesampainya dikampus nanti ada keajaiban. Matanya serius menelusuri pohon-pohonrindang yang berada di kiri-kanan Jl. Karadenan Bogor. Kurang lebih 15 menit lagi pelajaran Pak Raihan di mulai, namun sepertinya ia akanmenghabiskan waktunya sekitar 25 menit untuk sampai di kampus. Kali ini, Savin hanya bisa pasrah…
****
Chiara Mutia Rahma, hanya dapat termenung menanti dosen Ilmu Pendidikannya hadir diantara kebisingan kelas saat itu. Dipandangi jam dinding yang menggantung diatas papan tulis kelasnya. Tak seperti biasanya, kali ini ia mendapati dosen kesayangannya, Ibu Nadya Jafar, harus terlambat, atau mungkin tidak datang dan tidak biasanya pula, Bu Nadya tidak ada kabar…
Chiara Mutia Rahma atau panggilan akrabnya Chimut, adalah mahasiswa baru di kampus tersebut. Tiga minggu mengikuti pelajaran Ibu Nadya, telah memberikan beribu atsmosfer dalam kehidupannya. Sosok jangkung yang kerap ditakuti mahasiswi yang berpakaian ketat itu adalah icon dosen beprinsip dan bepaham, namun bagi Chimut Bu Nadya adalah seorang yang penuh karismatik. Gambaran sosok ideal seorang dosen, tegas dan berkualitas.
“Mut, loe yakin, Bu Nadya pasti datang? Intuisi loe bilang apa?” Bisik Indri seraya merangkul Chimut dengan penuh kemenangan. Ia pasti senang dengan tidak hadirnya Bu Nadya. Pikir Chimut.
“Tahu deh, eh gue ke perpus dulu ya, nanti kalo Bu Nadya datang, sms aja ya..”
“Gue ikut, boleh?” Kali ini Indri tampak serius
“Gue lagi mau sendiri… sorry ya, tapi kalo loe emang niat banget buat baca buku, loe boleh bareng sama gue ke perpus. Tapi………. Jarak 100 meter… hehe” Kali ini Chimut yang menggoda, ia berusaha meyakinkan Indri bahwa tidak masalah jika Indri ingin ikut ke perpustakaan, namun batinnya memilih ingin sendiri. “Ah, semoga Indri tidak jadi ikut” batinnya
“Ya udah, gue di kelas aja! Good luck ya!” Kilah Indri cuek
“Good luck buat apa? Chimut bertanya-heran
“Semoga loe ketemu si baik hati disana! Tuh, si Mister Iguana!”
“Wah … loe cemburu ya sama gue? Tenang aja… si karyawan perpustakaan FKIP itu, akan aman buat loe seorang… gue belum sanggup mikirin pacaran, Ndri! Udah ah, lama-lama ngaco juga ngbrol sama loe, gue cabut ya, jangan lupa sms gue kalo Bu Nadya tercinta telah tiba, Ok?” Chimut menatap Indri-lama, ia meyakinkan bahwa Valen mahasiswa Ekonomi kelas malam tersebut yang bekerja sambilan sebagai karyawan perpustaan FKIP setiap pukul 07.30 pagi sampai 16.00 sore tersebut akan selalu aman untuknya. Lagi pula Valen bukan tipe Chimut atau mungkin Chimut yang masih belum mengerti tipe yang cocok untuknya.
****
“Ups! Sorry…” Tidak sengaja Chimut menabrak seorang laki-laki yang tampak terburu-buru melangkahkan kakinya. Matanya merah, mungkin karena kurang tidur. Rambutnya sedikit berantakkan dengan beberapa helai bagian kiri diatas telinganya menyelinap keluar tak seimbang dengan arah bagian rambut yang lain. Namun ketampanannya masih tidak bisa dipungkiri. Si tampan yang berantakkan!
“Gak apa-apa koq! Gue yang salah, gue duluan ya…” Ucap laki-laki tersebut.
“Iya…” Jawab Chimut singkat! Matanya terus menelusuri kemana langkah jangkung itu pergi, dan barulah ia tahu, sosok tersebut menuju Fakultas Teknik yang terletak di wilayah paling ujung Universitasnya.
****
Valen terlihat asik melayani beberapa mahasiswa yang akan meminjam buku di perpustakaan FKIP tersebut. Ia mencatat dengan teliti judul buku pada kartu-kartu peminjam buku perpustakaan dan teliti pula menuliskan nama-nama si peminjam di balik buku yang akan dipinjam mahasiswa-mahasiswa tersebut.
Chimut yang melihat keadaan yang ia lihat hampir setiap harinya itu, diam-diam menaruh simpati terhadap Valen. Ia bangga, pemuda semester lima yang terkenal ramah dan sopan terhadap siapapun ini, adalah sosok pemuda yang begitu tegar menjalani hidup. Membiayai sekolah dengan hasil keringat sendiri. Chimut tahu betul bagaimana perjalanan hidup Valen. Indri sahabatnya selalu up to date mengabarkan perkembangan kehidupan Valen. Mulai dari loper koran, penjaga counter pulsa di sebuah mall di kawasan jambu dua, penjaga warnet Fakultas Ekonomi dan kini ia dipercaya menjadi karyawan perpustaan dengan status yang masih belum jelas. Tapi bagi Valen, ia sangat beruntung dan Valen selalu berharap pencapaian hidupnya akan mejadi lebih baik setiap harinya, bahkan setiap detiknya. Awalnya Chimut tidak begitu peduli dengan kehidupan Valen. Namun satu kejadian membuat Chimut harus mengenal Valen lebih dekat. Chimut, Indri dan Valen pernah satu sekolah saat di SMA dulu. Valen merupakan panitia ospek yang menjadi kakak penanggung jawab regu para siswa di sekolah tersebut dan Valen menjadi kakak penanggung jawab kelompok Chimut dan Indri. Indri sudah jatuh hati kepada Valen sejak pandangan pertama. Sosok pemuda yang tampan dan cool. Bukan itu saja, Indri selalu mencari informasi tentang Valen. Ternyata bukan hanya Indri, pemuda cool itu selalu menjadi incaran para gadis. Namun biasanya mereka mundur teratur setelah mengetahui latar belakang seorang Valen Rahadian Akbar. Valen yang tampan tersebut adalah pemuda dari keluarga yang bisa dikatakan kurang mampu. Ayahnya seorang petugas kebersihan di sebuah SD Negeri di daerah Cibinong, sedangkan ibunya yang sakit-sakitan hanyalah ibu rumah tangga biasa, memilih di rumah untuk mengurus ke empat buah hatinya, yang diantaranya masih sangat kecil. Valen adalah anak pertama, ia bukan tipe pemuda yang membiarkan kedua orang tuanya dalam kesusahan. Sebelum berangkat sekolah, Valen terlebih dahulu mengitari kompleks yang tak jauh dari rumahnya. Berkeliling, dengan sepedah butut yang menjadi kendaraan favorit keluarganya. Dan dengan lantang, ia berteriak “Koran… Koran…”. Keluarga Indri dan Chimut adalah dua iantara langganan Valen yang lain.
Pertama tahu keadaan keluarga Valen, Indri sempat syok, namun ia bukan seperti gadis-gadis yang lainnya, yang pergi begitu saja setelah tahu keadaan keluarga Valen. Mata hatinya malah semakin bangga. Bagaimana mungkin seorang pemuda SMA yang kala itu sedang tampan-tampannya, dan digandrungi para kaum hawa, tak malu menunjukkan jati dirinya. Indri ingat betul waktu itu. Valen pun pernah menjaga sebuah counter di sebuah mall di kawasan jambu dua. Indri, Chimut, Zahrah, Nitha, dan Asti yang kala itu sedang go sight seeing bertemu Valen. Tak sengaja saat Nitha meminta seorang petugas counter untuk mengisikan pulsa ke HPnya dan ternyata, petugas counter itu adalah Valen. Tanpa canggung, Valen melayani dengan begitu ramah. Sementara Nitha yang juga menaruh hati kepada Valen, hanya dapat tersenyum getir. Ia kecewa, pahlawan tampannya melakukan pekerjaan yang tidak setampan orangnya. Tapi itulah yang disukai Indri terhadap Valen. Valen yang apa adanya akan selalu di hati Indri. Binar-binar cinta itu telah membuat Indri menjadi seorang hawa yang selalu ingin tahu apa dan siapa Valen sebenarnya. Ia selalu mencari tahu tentang Valen. Chimut sahabatnya adalah orang yang tepat untuk Indri curhati. Chimut tahu betul, Indri adalah sahabat yang begitu tulus mencintai Valen saat itu. Namun Indri hanya bisa diam terhadap perasaannya. Ia lebih suka menyimpannya di sudut hatinya yang terdalam. Sampai Valen lulus SMA, hanya air mata yang disembunyikan diantara mata indah Indri, Bahkan Indri merasa tidak pantas mendapatkan pemuda se baik hati Valen.
Lalu kini, mereka, Chimut, Indri dan Valen bertemu kembali dalam keadaan yang lebih dewasa. Valen hadir sebagai laki-laki yang masih tampan, atau lebih tampan dibanding kala SMA dulu. Ia begitu rapih dan tetap dengan rambut iguanananya, begitu Indri memanggil Valen. Si Mister Iguana. Rambutnya berdiri, tipis dan lancip, tapi penampilan Valen tetaplah bagian paling magnetik untuk Indri. Sekarang Indri tidak mau menyimpan perasaan itu lagi. Ia berjanji suatu saat nanti, akan mengungkapkan semuanya kepada Valen. Semua… tanpa sisa…
****
“Kenapa loe terlambat lagi? Berantem lagi sama bokap loe?” Farhan mendekati Savindra yang terlihat duduk di pinggir kolam ikan di belakang fakultasnya. Tangannya merangkul punggung Savindra, yang masih tidak mengeluarkan kata-kata.
“Savin, gue kenal loe udah lama, empat tahun kita udah temenan, gue sama loe… kita sama-sama terjebak dalam lingkaran hitam Fakultas Teknik ini. Gue gak mau nyesel, Savin… gak ngikutin kata hati gue! Secara gue laki-laki, dan gue harus ngambil fakultas ini. Gue terjebak dalam masalah gender, bahwa laki-laki itu identik dengan teknik. While jiwa gue… gue,… huff…” Farhan menghela napas panjang, karena ia tahu Savindra sahabatnya mengerti apa sebenarnya yang ia inginkan.
“Tapi gak apa-apa, walaupun Jurusan teknik mesin ini bukan keinginan gue dan yang terpenting, biarpun lulusnya agak lamaaaaan dikit, gue tetep harus semangat belajar!” Farhan melanjutkan, kali ini senyumnya terlihat lebih ikhlas. Diantara senyumnya yang di ikhlaskan, namun di dalam hati Farhan berkecamuk samudera resah. “Mau kemana masa depanku nanti?” Pikirnya- “Apa selalu begini, yang disebut realita hidup? Kadang kita menjadi sukses dari sesuatu yang bukan menjadi cita-cita besar kita…” Sekarang, relung hatinya yang terdalam ikut bertanya.
“Ya udah, gue duluan ya? Assalamualaikum, Vin…” Farhan pun berlalu dari hadapan Savindra yang masih hanyut dalam lamunannya.
“Wa’alaikumsalam…” Renyah ia membalas salam Farhan tapi hati dan jiwanya berpikir keras atas apa yang diucapkan Farhan. Ia mengalami hal yang sama, namun bedanya Farhan adalah sosok laki-laki yang ingin terlihat lebih laki-laki dengan masuk FT Corner. Mengalahkan mimpi-mimpinya menjadi perancang busana yang terkesan feminine dan bagi Farhan sungguh tidak lazim, bahkan Farhan kerap mencibir para perancang busana yang kadang berseliweran di Televisi, ia merasa mereka telah kalah dengan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk seorang laki-laki. Farhan berusaha mengelak dengan segala sesuatu yang bisa ia lakukan. Tapi tetap saja hatinya, tangan-tangan magicnya, imaginasinya masih menyisakan semangat untuk menjadi perangcang busana kelas dunia.
Sebenarnya Savindra sangat bersimpati dengan keadaan Farhan, namun ia merasa, bagaimana mungkin ia dapat menjadi sahabat tebaik Farhan, jika ia sendiri punya masalah yang sama. Jika Farhan masuk Fakultas Teknik atas dasar kesadaran sendiri, maka Savindra mengambil jurusan Teknik semata-mata karena keinginan orangtuanya. Ia terlalu lelah jika membayangkan harus bersitegang lagi dengan ayahnya. Lelah, karena sedari SD ia telah mengalami “pemaksaan” seperti itu. Mulai dari nilai pelajaran yang harus sempurna, ikut ekskul yang sama sekali bukan menjadi karakternya, lalu kala SMP ia harus menjadi garda terdepan dalam beberapa olimpiade Science antar provinsi, SMA ia “terpaksa” memenangkan berbagai lomba menulis ilmiah. Dan kini ketika kuliahpun, ayahnya memintanya mengambil jurusan teknik mesin karena Bapak Prima Aditya, ayah seorang Savindra Farizi Aditya adalah seorang pengusaha kelas menengah dengan bisnis mesin-mesin percetakkan yang meliputi wilayah bagian Jabotabek. Ia ingin Savindra, dengan pendidikkan yang ia harapkan dapat menjadi oase bagi perusahaan mandirinya itu, menjadikan perusahaan tersebut, menjadi perusahaan kakap kelas nasional, bahkan kelas internasional. Maklum saja, Prima Aditya hanya lulusan SMA. Karena masalah biaya, ia hanya melanjutkan pendidikannya di bangku nonfornal. Mendaftarkan diri dalam lembaga-lembaga kursus seperti komputer dan bahasa inggris. Kerasnya hidup dan besarnya sebuah cita-cita, menjadikannya orang sukses seperti sekarang ini. Yang Savindra tahu hanyalah ayahnya yang otoriter, tapi dibalik itu semua, ayahnya telah mengalami jutaan pengalaman hidup luar biasa yang sebenarnya dapat Savindra contoh dan banggakan.
Savindra, ia kali ini lelah menyembunyikan perasaan hatinya yang berkecamuk luar biasa. Ia anak teknik yang prestasinya bisa di bilang cemerlang, namun bukan itu yang ia inginkan. Ia lebih tertarik dengan seni dan lukisan. Saat ia meminta kepada ayahnya untuk melanjutkan pendidikannya di design interior, malah perdebatan sengit yang ia dapatkan. Akhirnya dengan terpaksa, Savindra harus merelakan apa yang dicita-citakannya. Namun konsekuensinya ia menjadi sangat membenci ayahnya. Tak jarang, hal-hal ringan dapat menyulut pertengkaran anak dan bapak tersebut. Seperti tadi malam, hanya karena ia tidak mau ikut makan malam bersama, ayahnya menjadi sangat tersinggung. Sebagai seorang ayah, Prima Aditya ingin mendapati keharmonisan dalam keluarganya. Ia hanya punya satu anak, Savindra. Ibunya sudah tidak dapat memiliki anak lagi, karena rahimnya sudah diangkat. Prima Aditya ingin anak satu-satunya tersebut menjadi anak kebanggaan kelurganya. Kini saat kehidupan mereka berangsur pulih dan mapan, Savindra malah terkesan melarikan diri dari keluarganya. Ia semakin penyendiri. Prima Aditya selalu berusaha untuk mendekati anaknya tersebut dengan berbagai cara, namun Savindra sudah terlanjur memandangnya sebagai orangtua yang otoriter. Mungkin karena hal tersebut, mudah sekali pertengkaran-pertengkaran tersulut. Desi yang mengenal suami dan karekter anaknya tersebut, hanya bisa pasrah. Desi hanya berharap suatu saat nanti ada yang mengalah. Lebih dari sekedar harapan, Desi memang benar-benar menginginkan “harus” ada yang mengalah.
BAGIAN 2
SURAT CINTA PERTAMA
Indri terlalu sulit mengatur perasaannya. Ia bingung harus berbuat apa. Samudera resah di hatinya sudah tak kuat ia tahan lagi. Kini, ia harus benar-benar meyakinkan perasaannya terhadap Valen. Ia masih sibuk memilih berbagai cara untuk mengungkapkan perasaannya terhadap Valen. Telephon langsung, SMS atau apa saja, ia masih bingung. Di depan perpustakaan FKIP, Indri hanya bolak balik tak tahu arah, “Apa yang harus akau lakukan, Tuhan?” batinnya.
Dipandanginya kumpulan nomer-nomer pada layar telephon genggamnya yang ia dapatkan dari Bu Syifa. Bu Syifa adalah karyawan tetap di perpustakaan FKIP. Ia bekerja sudah hamper 11 tahun. Kehadiran Valen sangat membantu Assyifa Prihartini. Valen yang cekatan itu membuat pekerjaannya menjadi lebih ringan. Bu Syifa tahu, bagaimana perasaan Indri terhadap Valen. Ia orang yang sangat mendukung apabila suatu saat nanti Indri dan Valen bisa jadian.
****
Perpustakaan FKIP masih sepi, baru satu-dua mahasiswa yang terlihat asik membaca. Sayup-sayup alunan instrumental Kitaro terdengar, membuat betapa nyamannya ruang perpustakaan tersebut. Valen masih sibuk merapihkan beberapa buku bacaan yang terlihat tidak tersususn rapih diantara lemari dan rak-rak kayu. Mahasiswa-mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaannya tidaklah selalu mahasiswa yang bertanggung jawab untuk meletakkan kembali buku yang mereka baca ke tempatnya. Bagi Valen, itu sudah menjadi tugasnya. Bu Syifa sangat kagum dengan kinerja Valen.
“Tut.. tut… tut…” Terdengar bunyi getaran HP di dalam tas Chimut. Ia lalu membukanya. Indri rupanya, “Mut, Loe dimana? Sudah nyampe kampus belum? Gue di kantin FE nih. Loe kesini ya…” Chimut memasukkan HP nya kembali kedalam tas mungilnya. Hari ini adalah hari sabtu. Chimut dan Indri tidak mengambil perkuliahan di hari sabtu, namun ia harus menyelesaikan beberapa tugas mandiri. Mereka janjian di perpustakaan FKIP. Sudah sejak pukul delapan pagi, Chimut menunggunya di perpustakaan FKIP tersebut, namun Indri sampai pukul sepuluh tak kunjung tiba. Lalu kini, sebuah pesan masuk di HP nya memberitahunya bahwa Indri sedang di kantin Fakultas Ekonomi. Chimut kesal, tapi ia cukup bahagia, karena ia bisa leluasa mencari bahan-bahan makalah mandirinya. Ia merasa selangkah lebih maju di bandingkan Indri.
“Assalamu’alaikum, Teh Syifa… makin geulis aja… Gimana teh kabar anak di rumah?” Sapa Chimut kepada Bu Syifa yang tersenyum tulus kepadanya.
“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah, semua baik… Oh ya, memangnya Chimut ada kuliah sabtu ya?” Tanya Bu Syifa.
“Gak ada kok, Teh… Cuma dapet tugas, buat makalah mandiri sama dosen jadi mesti cari-cari bahannya gitu deh! Mumpung hari sabtu, ya, dimanfaatin aja!” Jawab Chimut ramah
“Oke deh… mana bukunya? Sini aku catet dulu ya…” Bu Syifa pun sibuk menarikan penanya pada kartu peminjam buku, sementara Chimut menunggunya dengan sabar.
“Sip! Sudah nih, jangan sampai telat ya, kembalikan bukunya…”
“Siap!” Jawab Chimut dengan posisi hormat
Dan mereka mengakhiri pembicaraan tersebut dengan tertawa-tertawa kecil. Chimut pun keluar dari perpustakaan FKIP, tanpa tahu ada sepasang mata yang sedari tadi mengawasi dirinya. Sepasang mata yang begitu mengharapkannya sejak lama.
****
Chimut sibuk mencari sesosok tubuh yang pagi ini sudah membuat ia kesal. Akhirnya ia menemukan sesosok tubuh tersebut, begitu asik di bangku paling ujung kantin menikmati sepiring ketoprak Mang Husein.
“Ya Allah, Ndri, kemana aja?” Chimut menghampiri Indri dan mendaratkan cubitan kecil ke pipi Indri yang Chuby.
“Duh Sakit, Mut… Lepasin!” Geram Indri
“Iya, tapi dari tadi loe kemana aja? Gue tunggu di perpustakaan FKIP dari pagi, tau!” Chimut kesal, cemberut melihat Indri yang senyum-senyum gak jelas.
“Sebenarnya tuh, gue sudah datang ke sana, tapi gue bingung…” Kilah Indri
“Bingung kenapa, bu?” Tanya Chimut heran
“Dari semalam gue sudah niat banget buat ngungkapin perasaan gue sama si Mister Iguana itu, tapi pas tadi pagi saat gue baru sadar bakal ketemu dia di perpustakaan FKIP, rasanya gak sanggup! Padahal gue niat banget, buat nelphon dia atau SMS dia, minta dia keluar sebentar untuk nemuin gue di luar perpustakaan dan…. Ternyata gue ga bisa, gue gak sanggup!” Indri menjelaskan semuanya begitu ringan dan mengalir pada Chimut, ia yakin Chimut mengerti keadaan yang dialami sahabatnya tersebut.
“Oh, jadi karena itu? Emang ada urusan apa loe sama dia, sampe loe mau meminta dia untuk nemuin loe secara pribadi?” Tanya Indri heran
“Udah saatnya, Mut… gue harus ngungkapin perasaan gue terhadapnya yang gue pendem berjuta-juta tahun lamanya….” Indri menjelaskan.
“Lebaaay… Loe kira fosil, bertahun-tahun lamanya? By The Way, loe yakin? Loe gak takut menerima segala kemungkinan yang terjadi?” Chimut serius menatap mata Indri.
Indri menghentikan makannya sejenak. “Cuma ada dua kemungkinan, Mut! Diterima atau ditolak, dan gue harus berlapang lada jika jawabannya gak sesuai keinginan gue. Chimut terdiam, dia hanya berharap, semoga Valen menerima cinta Indri
****
Hari Selasa pagi, setelah jam perkuliahan pertama berakhir, Chimut memutuskan untuk menyendiri di bawah pohon rindang Fakultas Teknik yang tidak jauh dari Fakultasnya. Jam kedua nanti adalah jam mata kuliah Media Pengajaran, namun Ibu Armila tidak dapat hadir. Sementara, sahabatnya Indri, tanpa keterangan tidak mengikuti perkuliahan jam pertama.
Chimut tengah asik menikmati buku bacaan yang sudah seminggu ia pinjam di perpus FKIP. Buku yang memberikan energi baru untuknya. Buku tebal dengan halaman 333 lembar, dengan cover putih dan berjudul “Tersandung Kebahagiaan- Stumbling on Happiness- Sungguhkah Anda Tahu Apa Yang Membuat Anda Bahagia?” itu merajai pikirannya saat ini. Kalau saja sebuah SMS tidak masuk ke HP nya, mungkin Chimut masih terlalu asik menikmati buku yang sudah ia baca berkali-kali tersebut.
“Mut, gue di pelataran masjid kampus, loe kesini ya, ada yang mau gue titip buat loe. Penting” Sebuah pesan singkat dari Indri mengharuskannya bangkit dan segera beranjak dari tempat itu, langkahnya berat, namun ia tahu Indri sahabatnya pasti sedang membutuhkan dirinya.
Saat Chimut berbalik arah dari tempat duduknya, tiba-tiba “Dug!” bahunya mengenai seseorang. Mereka sama-sama merasakan kesakitan, sementara buku-buku yang dipegang keduanya tercecer di bawah.
“Ya Allah, sorry ya… gue gak sengaja, gue terburu-buru banget! Gue udah telat kuliah jam kedua….” Sesosok jangkung yang tidak asing bagi Chimut, ia mengambil beberapa buku Chimut yang berserakan, yang diantaranya kumpulan contoh-contoh pembuatan Silabus dan RPP. Sementara Chimut pun memungut buku yang sedang ia baca, buku itu lumayan jauh terlempar dibanding buku yang lain.
“Gak apa-apa kok, makasih udah mau ambilin buku gue... buku loe juga ada yang jatuh tuh” Chimut tersenyum ikhlas, ia tahu kepada siapa ia bertabrakan. Ternyata, si tampan yang berantakan. Sudah kedua kalinya ini terjadi, Chimut tak akan melupakannya.
“Makasih ya… kayaknya gue pernah lihat loe deh, tapi dimana ya… Oh ya, nama gue Savindra… loe siapa?”
“Woi, Saviiiin… masuuuuk… udah telat loe…” Terdengar teriakan dari ujung koridor, Farhan terlihat memanggil Savindra, membuyarkan Chimut untuk mengucapkan sepatah dua patah kata. Ia gugup dan.... berdebar.
“Ya udah ya, gue duluan, kapan-kapan nyambung lagi!” Sosok jangkung itu pun setengah berlari menuju koridor paling ujung Fakultas Teknik, meninggalkan rasa yang tidak dimengerti oleh Chimut.
****
Dipelataran masjid kampus, Chimut melihat Indri yang tengah bingung memegang dua kertas di tangannya.
“Indri…?” Chimut menyapanya, memastikan semua baik-baik saja.
“Ya Allah, Chimut, gue bingung banget nih, gue udah buat semalaman, surat cinta pertama gue buat Valen, tapi gue masih bingung yang mana yang harus gue kasih di antara dua surat ini?” Indri gelisah, tangannya menutupi wajahnya, sementara Chimut mengambil dua buah surat yang di pegang Indri tadi dan melihat bagaimana isi bacaannya.
“Hmm… jadi karena ini, yang ngebuat loe gak ikut jam kuliah pertama?” Mata Chimut tajam mengarahkan pertanyaan tersebut kepada Indri, Chimut sekarang benar-benar yakin, bahwa iIndri tidak main-main menyukai Valen.
“Iya…” Indri mengangguk pelan,
“Ya sudah, jeng… gue baca ya… loe gak keberatan?” Tanya Chimut pelan
“Justru itu, gue nyuruh loe kesini..” Indri tersenyum, memastikan bahwa keberadaan Chimut sangat berarti baginya.
Dibukanya dengan hati-hati satu surat yang ada di tangan kanannya terlebih dahulu, Amplop yang sama dikedua surat tersebut. Mungkin Indri memang memiliki seperangkat surat cinta dan amplopnya yang telah ia siapkan untuk Valen. Dahi Chimut naik turun, memandangi kata-kata seorang Indri yang begitu mantap, tegas dan jelas pada surat yang pertama ia baca. Sungguh, gaya penulisan Indri sangat berbeda sekali dengannya. Mungkin Chimut harus berpkir seribu kali untuk memberikan surat dengan isi se jelas itu kepada seorang laki-laki.
Dear, Valen…
Aku mau jujur sama perasaan aku selama ini sama kamu. Dari dulu, dari kita masih SMA… Sebenarnya aku sudah jatuh hati… aku pengen kita punya hubungan. aku gak minta banyak, yang penting kamu jalanin dulu aja sama aku. Masalah kita cocok atau nggak, itu masalah nanti… tolong pertimbangkan kata-kata aku ya …
I Heart U…
“Sejujur inikah, Indri? Apa gak terlalu blak-blak’an?” Tanya Chimut-heran mengetahui temannya begitu antusias mengungkapkan perasaannya.
“Coba loe baca surat yang satunya…” Pinta Indri.
Chimut hanya tertegun, membaca kata-kata yang penuh arti pada surat ke dua yang ia baca. Benarkah kata-kata tersebut terlahir dari seorang Indri? Sepertinya ia tahu, surat mana yang ia harus rekomendasikan kepada Indri…
“Indri, kayaknya gue lebih setuju, surat yang ke dua ini deh. Gue suka tulisan loe…” Chimut tersenyum ramah sambil menatap Indri dalam-dalam…
“Nggak, Mut! Sudah cukup gue berbasa-basi sama perasaan gue, sebenarnya gue sudah punya pilihan surat. Gue lebih comfort dengan surat yang loe baca pertama kali. Biar hati gue tenang sekalian…” Indri membalas senyuman Chimut, tampaknya ia sudah yakin dengan pilihan suratnya tersebut.
“Tadinya gue bingung, tapi gue berpikir keras saat loe baca surat-surat gue barusan tadi, dan hati gue udah memilih… Oh ya, mana surat yang pertama tadi, mau gue kasih nama di amplop depannya!” Tangan kanan Indri dengan cepat mengambil surat pertama dari tangan Chimut, dan pada bagian depan amplopnya ia tuliskan namanya dengan huruf sambung yang amat indah. Indriana Resmala Dewi.
Chimut tersenyum ramah. Dipandanginya sahabatnya tersebut. Indri yang lugas dan apa adanya. Ia sangat menghargai keputusan Indri
“Terus Ndri, Gimana cara ngasih surat ini?” Tanya Chimut.
“Mut, itulah gunanya loe disini… Tolong loe selipin surat gue diantara buku yang loe pinjam di perpus FKIP. Please yah… loe kasih ke Valen langsung, jangan sampai Bu Syifa yang menerima. Gak ada buku yang gue pinjam di perpustakaan FKIP. Makanya gue minta bantuan loe…” Ucap Indri mengalir dan bersemangat.
“Ok! Kapan harus gue kasih?” Tanya Chimut
“Sekarang… The Sooner, the better! Makasih ya, Mut…sorry gue gak bisa lama-lama, gue udah janjian sama Metha, before have a midday prayer, si Metha mau Bantu cari tempat kos, Mut! Nyokap sama bokap gue udah ngizinin…moga-moga loe juga diizinin ngekost ya… nanti kita barengan deh bobonya… he he..”
“Nanti gue kabarin kalo gue udah diizinin nge kost. Ok?” Jawab Chimut singkat.
“Nah, tuh! Si Metha udah Miscall… Pasti dia udah nungguin gue di pos satpam depan kampus. Ya udah ya, gue duluan… Assalamu’alaikum…” Papar Indri setengah berlari.
“Indriii…. Gak shalat Dzuhur duluuu?” Tanya Chimut setengah berteriak.
“Nanti di tempat kost Metha…” Jawab Indri setengah memakai bahasa isyarat, karena jaraknya berdiri sudah lumayan jauh dari Chimut. Tapi Chimut mengerti apa yang dikatakan oleh Indri.
“Shuttt… di pelataran masjid gak boleh teriak-teriak!” Ucap seorang laki-laki kemayu kepada Chimut.
“Ups! Sorry…” Chimut berlalu menuju tempat wudhu wanita. Tidak lama kemudian, Adzan Dzuhur menggema memenuhi seantero bagian kampus.
****
Farhan sibuk memencet tombol-tombol nomer telephon Savindra… Setelah usai mata kuliah jam kedua, Savindra menghilang entah kemana.
“Tut… tut… hallo…” Jawaban Savin melegakan Farhan.
“Vin, gue udah di pelataran masjid kampus nih, udah dzuhur, mau shalat. Loe gak lagi dapet khan?” Tanya Farhan sedikit menggoda. Ia harus mengencangkan volume suaranya karena bersamaan dengan Adzan.
“Enak aja loe… ya, nanti gue nyusul. Gue lagi fotocopy catatan yang tadi nih. Tdi gue gak nulis…” Jawab Savindra di ujung telephon sana.
“Hah… Apa…gak kedengaran Savin…”
“Ya iyalah! Udah nanti gue SMS, loe shalat jamaah aja duluan, Ok?” Tanpa peduli apakah Farhan mendengar ucapannya, Savindra memutuskan telphonnya. Percuma saja, pikirnya. Mana bisa terdengar jelas, “Ada yang lagi adzan malah telphon!” Gerutu Savin.
“Vin… Vin… Hallo… halloo…” Farhan masih sibuk dengan telphonnya dan kali ini tampaknya ia yang akan terkena teguran Bapak Didin Saefuddin, selaku Rektor di kampusnya tersebut. Bapak Didin Syefuddin yang lewat persis di hadapan Farhan itupun menegurnya “Di pelataran masjid, gak boleh teriak-teriak apalagi pada saat adzan…” Ucapnya sambil berlalu dari hadapan Farhan untuk menuju shaf terdepan shalat dzuhur. Beliau biasanya sudah siap dengan wudhunya ketika menuju masjid untuk shalat. Biasanya beliau terlebih dahulu membersihkan dan menyucikan diri di ruangan Rektoratnya, setelah itu, barulah ia menuju masjid kampus untuk shalat berjamaah.
Farhan yang malu merasa sangat tertohok dengan kejadian tadi. Baru saja ia menegur seorang perempuan, untuk tidak berteriak di pelataran masjid, malah sekarang ia yang melakukannya dan diperingati oleh seseorang sekelas rektornya. Mimpi apa ia semalam. Pikirnya.
****
Sehabis shalat dzuhur, Chimut masih asik mematut wajahnya di cermin masjid bagian putri. Ia sangat menyukai masjidnya. Tempat shalat untuk perempuan berada di lantai dua, sehingga perempuan yang ingin bersolek, dapat dengan santainya mereka lakukan. Apalagi kampusnya adalah kampus Islam di daerah Bogor. Kampus yang menghargai privasi perempuan.
Di bukanya kerudung hijau Chimut yang sudah bergeser tak tahu arah. Lalu, di pakainya pelembab wajah dan bedak yang berwarna sepadan dengan kulitnya yang sawo matang. Ia ratakan bedak tersebut di sekitar wajahnya. Setelah terlihat sempurnya, bergegas ia memakai kerudungnya tersebut, ia perbaiki dalaman kerudungnya agar tak keluar dari batas yang sudah ia tentukan. Tak lama ia membutuhkan waktu untuk berdandan, di belakang ia bercermin, barisan perempuan yang lain sudah mengantri di belakangnya. Chimut pun pindah ke sebuah sudut yang nyaman dekat tangga keluar. Ia teringat tugasnya untuk menyerahkan sepucuk surat kepada Valen. Ia pastikan surat yang ia letakkan di dalam buku yang ia pinjam di perpustakaan FKIP tersebut tidaklah salah. Indri menginginkan surat yang pertama kali ia baca. Surat yang sangat menantang, dengan kata-kata yang lugas dan spontanitas. Sementara surat kedua yang ia baca, tampaknya telah dilupakan begitu sa oleh Indri, ia selipkan surat yang kedua ia baca di bukunya yang lain. Sekali lagi ia pastikan, Buku Daniel Gilbrert yang ia ingin kembalikan ke perpustakaan FKIP, adalah buku yang berisikan surat untuk Valen.
****
Chimut bergegas menuju perpustakaan FKIP, ia merasa sedari ia memakai sepatu simplenya dan berjalan meninggalkan masjid kampus, seperti ada yang memperhatikannya dan benar saja, sosok jangkung yang berdiri di belakangnya tersenyum dengan ramah kala Chimut menolehkan pandangannya ke belakang.
“Hai…” Sapanya lirih, hamper tak terdengar.
“Si tampan yang berantakkan rupanya!” Guman Chimut dalam hati.
“Sorry… bisa ngobrol sebentar?” Pinta laki-laki jangkung tersebut.
“Boleh.. dimana ya enaknya?” Ucap Chimut gugup dan belum pernah ia se gugup itu.
“Di DPR, gimana?” Jawab laki-laki tersebut singkat.
“DPR?” Chimut heran.
“DPR… Dibawah Pohon Rindang… hahaha… Loe mahasiswa baru ya, belum tahu istilah itu? Tuh tempatnya!” Ucap laki-laki itu sambil menunjuk ke satu arah, sebuah tempat duduk dari batu-batu kali yang di buat menghadap taman Fakultas Teknik itu terlihat nyaman sekali.
“Oh itu….” Jawab Chimut mengangguk-angguk.
“Tempat favorit kamu ya? Karena aku lihat, kamu pernah baca buku disitu dan di situ juga terjadi insiden tertukarnya buku kita…”
“Maksudnya?” Tanya Chimut.
“Nanti akau jelasin disana. Tunggu disini bentar ya. Aku mau kasih tahu temanku dulu, supaya nungguin aku. Tuh orangnya masih di pelataran masjid!” Ucapnya sambil menunjuk seseorang yang sedang duduk sendiri di pelataran masid kampus.Wajah lembut yang mudah sekali untuk dikenali.
“Ok…” Jawab Chimut singkat. Dipandanginya laki-laki jangkung tersebut yang setengah berlari menuju seorang laki-laki dipelataran masjid. Laki-laki kemayu yang menegurnya, agar tidak berisik dan berteriak saat di pelataran masjid tadi.
“Oh, jadi si tampan itu, temannya si kemayu yang negur aku tadi rupanya.” Kata Chimut dalam hati.
****
“Farhan, gue ada perlu bentar ya, 10 menit deh! Please tungguin gue, Ok?” Savindra menjelaskan kepada Farhan dengan nada suara yang terburu-buru. Tak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan persetujuan dari Farhan, Savindra pun berlari menuju Chimut yang menunggunya tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dari tempatnya duduk, Farhan melihat Savindra menuju perempuan yang ditegurnya tadi. Perempuan yang menyebabkan ia mendapatkan karma dari Rektor kampusnya. Senyum getir itu tampak terlihat di sudut bibir Farhan. Ada yang sakit di hatinya. Ia sudah mencoba beberapa kali mentralisir semua perasaannya, namun ternyata ia masih tidak bisa. Ia, Farhan dan Savindra adalah sahabat sejak awal masuk kuliah. Farhan begitu menikmati persahabatan mereka. Semua yang terjadi pada diri Savin, diketahui oleh Farhan, begitu pula sebaliknya. Tak ada yang disembunyikan Farhan dari Savindra- sama sekali tak ada… Kecuali… gejolak hati di relung-relung hati Farhan yang paling dalam. Farhan si laki-laki kemayu, telah lama memiliki perasaan terhadap Savindra. Ia menyayangi Savindra lebih dari sekedar sahabat. Farhan telah lama… mencintai Savindra.
****
Sesampainya di tempat yang Savindra tunjuk, ia pun langsung mengutarakan maksud membawa Chimut ke tempat itu.
“Maaf, gue gak bisa lama-lama, teman gue udah nungguin, padahal bue pengen banget ngobrol banyak sama loe, Gue Savindra, anak Teknik Mesin nama loe siapa? Waktu itu kita gak sempet kenalan…” Savindra mengulurkan tangannya. Ia menanti Chimut menyambutnya dengan hangat.
“ Chiara Mutia Rahma, FKIP semester satu.” Jawab Chimut ramah, tapi ia belum menjabat uluran tangan Savindra. Tangan kanannya yang penuh tiga buku tebal yang ia sedekapkan di dadanya tersebut, membuatnya cukup kesulitan, Chimut mencari tempat disekitarnya ia duduk, namun tsk ia dapatkan.
Melihat Chimut yang kesulitan mencari tempat untuk meletakkan buku-bukunya, Savindra berinisiatif meraih buku-buku yang di pegang Chimut tersebut. Chimut yang keget, akhirnya tak sengaja menjatuhkan buku-buku tersebut diantara kaki-kaki mereka.
“Yaah… Tuh khan jatuh lagi…” Ucap Chimut sambil cemberut.
“Ih kenapa sih, kalo ada loe, pasti selalu ada insiden buku gue jatuh! Nyebelin!” Chimut menghela napas panjang.
“Aduh Nona, maksud aku tuh baik, kok jadi begini ya, Non… maaf deh!” Savindra mengambil buku-buku yang tercecer diantara kaki-kaki mereka yang tengah duduk di antaranya. Mereka tidak melihat sepucuk surat telah terjatuh diantara kaki-kaki mereka.
Chimut terdiam, mendengar ada seorang pemuda yang memanggilnya dengan sebutan Nona. Savindra meletakkan buku-buku Chimut di samping kirinya.
“Ya udah, gak apa-apa… Nama gue, yang tadi… Chiara Mutiara Rahma, You can call me… Chimut!” Chimut tersenyum ramah.
“Nice… kamu panggil gue, Savin aja. Ok?” Kali ini mereka berhasil berjabat tangan.
“Kamu juga suka ya, sama bukunya Daniel Gilbert ‘Stumbling on Happiness’. Terus gimana, sudah tahu, apa yang ngebuat kamu bener-bener bahagia?” Tanya Savindra.
“Bentar… bentar… sebelum gue jawab pertanyaan loe, gue mau Tanya, dari mana atau dari siapa loe tahu gue suka sama buku itu?” Chimut balik bertanya.
“Ye… ditanya balik nanya! Ya tahu dari kamu sendiri lah! Ini masalahnya!” Savindra mengeluarkan buku Daniel Gilbert tersebut dari dalam tasnya. Ia menunjukkan bagian terakhir sampul buku tersebut.
“Ye… ditanya balik nanya! Ya tahu dari kamu sendiri lah! Ini masalahnya!” Savindra mengeluarkan buku Daniel Gilbert tersebut dari dalam tasnya. Ia menunjukkan bagian terakhir sampul buku tersebut.
“Lihat nih, ini buku punya perpustakaan khan? Disini jelas ada nama kamu sebagai daftar orang yang pinjam bukunya. Sedangkan yang sedari tadi kamu bawa, adalah buku aku yang tertukar saat kita tabrakan di tempat ini tadi pagi.” Savindra menjelaskan panjang lebar.
“Nah yang ini buku aku, jelas-jelas pada halaman pertama buku ini ada namanya. Nih lihat…” Sambung Savindra, sambil meraih buku yang tadi terjatuh dan tercecer yang ia letakkan di samping kirinya.
“Oh, sorry…” Jawab Chimut seolah tak percaya. Ia dan laki-laki jangkung tersebut, memiliki selera bacaan yang sama.
“Ya udah, gak apa-apa… Ini bukunya, aku balikin! Cepetan tuh balikin ke perpus, aku lihat masa pinjamnya udah abis! Nanti kena denda lho!” Savindra memberikan buku tersebut kepada Chimut, tatapan Savindra sungguh berbeda dari orang yang ia lihat pertama kali, dengan gaya yang sangat berantakkan. Savindra pun berbicara dengan bahasa yang sopan. Sapaan aku dan kamu. Chimut hanya tersenyum kecil melihat tingkah Savindra.
“Ok, makasih ya, padahal gue udah baca berkali-kaili nih buku! Tapi gue gak pernah bosan!” Ucap Chimut bersemangat.
“Tut…tut…tut…” Savindra meraih HP di saku jeansnya.
“Bentar ya, Mut…” Ucapnya dan Chimut mengangguk cepat.
“Vin, udah lewat 20 menit nih, gue udah jamuran nungguin loe masjid. Jadi buat tugas gak sore ini?” Farhan ternyata tak sabar untuk menunggu Savindra.
“Ups! Sorry… Han, gue lupa! Yups, gue segera menuju loe.” Jawab Savindra cepat. Ia mematikan telephon genggamnya, dan kembali memandang Chimut.
“Kapan-kapan ngobrol lagi ya, Oh ya, kamu belum jawab pertanyaan aku tadi! Aku tunggu jawaban kamu secepatnya. Bukunya aku ambil lagi ya…” Ucap Savindra seraya mengambil dan meletakkan buku yang tertukar tersebut ke dalam ranselnya.
“Eh, ini apa? Punya kamu ya?” Tanya Savin yang menemukan sepucuk surat tergeletak diantara kakinya.
“Oh iya, punya temanku! Sini!” Pinta Chimut sambil meletakkan sepucuk surat itu diantara selipan kertas pada buku yang sudah ia terima tadi dari Savindra. Buku yang harus ia kembalikan ke perpustakaan FKIP dan sudah ia design sedemikian rupa ,agar Valen dapat menbaca surat dari Indri yang ia terima sebelum dzuhur tadi.
“Moga besok kita tabrakan lagi! Hi hi,.. Assalamu’alaikum, Nona…” Savindra berdiri, begegas meninggalkan Chimut. Dengan langkah setengah berlari, Savindra menuju tempat dimana Farhan menunggunya dengan hati gelisah.
“Iya…” Jawab Chimut singkat. Ia masih tak berdaya menata hatinya. Salam yang dilontarkan Savindrapun, di balas dengan nada lirih, nyaris tak terdengar. Ternyata si tampan yang berantakan sangat menyenangkan. Senyumnya, pandangan matanya, dan panggilan nona terhadapnya tadi, sangat melambungkan perasaannya. Chimut begitu bergairah dan ia telah melupakan sesuatu.
“Astagfirullah! Surat Indri!” Chimut baru tersadar,…
“Semoga Valen tidak sibuk,” Batinnya.
BAGIAN 3
HATI YANG TERTUKAR
Chimut setengah berlari menuju perpustakaan FKIP. Ia tahu, siang adalah waktu yang kurang tepat untuk menyerahkan surat ini. Terlebih jika perpustakaan FKIP sedang banyak-banyaknya. Tidak bisa dibedakan lagi, mana mahasiswa yang benar-benar ingin baca buku dengan mahasiswa yang sekedar berkunjung, untuk menghindari panas yang menyengat di luar sana. Maklum saja perpustakaan FKIP adalah tempat yang paling nyaman untuk beristirahat. Ruangan ber AC yang luas tersebut memiliki tempat tersendiri bagi sebagian besar mahasiswa.
The sooner the better! Itu pesan Indri, Chimut harus memberikan surat itu sekarang. Iapun masuk ke ruang perpustakaan FKIP, beruntung keadaan bisa terbilang sepi. Tampaknya kali ini, suasana sangat mendukung keinginan Indri.
Sayup-sayup terdengar suara merdu Clay Aiken yang melantunkan lagu lawas berjudul ‘Right Here Waiting’ mengisi perpustakaan FKIP kala itu. Suasananya yang begitu romantis ini, tak akan Chimut sia-siakan. Dilihatnya meja kosong yang biasa menjadi tempat pangkalan Bu Syifa, mungkin Bu Syifa ke kamar kecil, pikirnya. Matanya tajam menelusuri sudut-sudut perpustakaan. Mencari sesosok tubuh yang ingin ia temui, Valen.
“Hmmm..” Terdengar seseorang mendehem dari belakang Chimut berdiri.
Chimut berbalik arah. Ini dia, sesosok tubuh yang ia cari akhirnya berhasil ia temukan.
“Eh Ka Valen, aku mau balikin buku nih! Aku cari Bu Syifa dari tadi, tapi gak ada juga!” Ucap Chimut mencari kata-kata untuk menyembunyikan kekagetannya.
“Iya nih, Bu Syifanya tadi habis dzuhur pulang duluan. Katanya anaknya sakit, jadi dia izin. Ada yang bisa aku bantu?” Jelas Valen menawarkan diri.
“Iya, aku… mau…” Chimut terlihat gugup.
“Kamu tuh lucu ya!” Potong Valen cepat. Chimut terdiam sejenak.
“Apanya yang lucu?” Tanya Chimut
“Kenapa kalau sama aku, gaya bicara kamu selalu formal. Dengan kata-kata ‘aku-kamu’ segala! Nyantai aja lagi, Mut! Kita khan udah kenal dari SMA!” Jawab Valen sambil tersenyum.
“Oh… itu… kirain apa? Karena Ka Valen, lebih cocok dengan gaya bicara yang seperti itu! Pokoknya jangan paksa aku untuk cari jawabannya, karena aku gak akan tahu! Cuma yang jelas, Ka Valen yang aku kenal adalah, seorang kakak yang begitu baik dan sopan!” Jelas Chimut mengalir sederhana. Chimut tidak tahu, kata-kata yang ia ucapkan tadi, sangat berarti untuk Valen.
“So! Jadi apa nih yang bisa aku bantu?” Ucap Valen dengan nada lembut.
“Aku mau balikkin ini!” Jawab Chimut singkat.
“Hmm… di dalamnya ada sesuatu buat Ka Valen, aku harap Ka Valen senang menerimanya. Ya udah deh aku duluan… Assalamu’alaikum…” Sambung Chimut, ia melangkahkan kakinya dengan terburu-buru menuju pintu keluar perpustakaan FKIP. Ia tak sanggup melihat raut wajah Valen yang membaca surat cinta Indri yang begitu blak-blak’an. Yang terpenting ia sudah memberikan surat itu kepada Valen, tanpa Chimut tahu, surat yang akan diterima Valen, malah menjadi akar permasalahan hati diantara ketiganya. Valen, Chimut dan Indri.
“Wa’alaikumsalam, Ndri…” Jawab Valen seraya tersenyum. Tak peduli, apakah Chimut melihat senyumannya atau tidak.
****
Kini, tepat pada bait yang sangat indah, Clay Aiken membuat suasana hati Valen semakin berbunga-bunga.
Wherever you go, Whatever you do
I will be right here waiting for you…
Whatever it takes or how my heart breaks
I will be right here waiting for you…
Ia lalu membuka amplop biru tanpa nama itu. Di bacanya surat tersebut dengan penuh suka cita, Valen Rahadian Akbar, sangat terharu akan kekuatan cinta yang suci pada surat tersebut. Begitu lembut dan arif menampilkan perasaan, tak salah jika selama ini, ia selalu menanti cintanya dapat di mengerti oleh seseorang yang sejak lama ia sayangi… Chiara Mutia Rahma.
Sejak pertama kali aku melihatmu, saat itu juga aku bersimpatik padamu….
Sejak tahu, kamu adalah kakak penanggung jawab kelompok aku, saat kita masih
SMA dulu, saat itulah aku bersimpatik padamu…
Sejak pertama kali melihatmu di perpustakaan sekolah, membaca buku, menyendiri
dan tersenyum diantara nyamannya hatimu dengan buku-buku itu, saat itu juga
aku bersimpatik padamu…
Saat aku melihatmu mememenangkan pertandingan basket saat class meeting sekolah
kita, saat itu juga aku bersimpatik padamu…
Saat aku mengetahui kau seorang loper koran, saat itu juga aku bersimpatik
padamu…
Saat kau tanpa malu menunjukkan jati dirimu terhadap teman-teman sekolah kita
dulu, saat itu juga aku bersimpatik padamu…
Saat kau tersenyum kepadaku dengan penuh kemenangan saat tim basket sekolah
kita memenangkan kompetisi kejuaraan antar sekolah, saat itu juga aku
bersimpatik padamu…
Aku tak tahu, sjak kapan aku bersimpatik kepadamu…
Tapi yang aku tahu, aku begitu mengharapkanmu sejak lama…
Sejak aku mengetahui, bahwa perasaan ini yang di namakan Cinta…
BAGIAN 4
HIDAYAH PERTAMA
Sore itu, mendung menghiasi kota hujan, Bogor. Bau tanah hadir di sela-sela debu yang berterbangan diterpa rintik demi rintik gerimis kala itu. Sudah sebulan Bogor terasa panas. Jalan-jalan dipenuhi debu-debu dan asap kendaraan yang berlalu lalang. Panas pun berganti. Sejuk menyeruak di hati, membuka relung-relung mimpi seorang laki-laki pendiam yang begitu sederhana, Valen Rahadian Akbar. Ia begitu menikmati dirinya yang terhempas oleh angin sepoi-sepoi dantara gerimis sore itu. Ia biarkan tubuhnya terkena sapaan gerimis, berjalan melewati sepanjang jalan K.H. Soleh Iskandar, Bogor. Hari ini adalah hari Selasa, tak ada jam perkuliahan yang diambil Valen di hari Selasa. Selesai merampungkan pekerjaannya di perpustakaan FKIP, Valen bergegas menuju kontrakanya di daerah Sala Benda. Rasanya ia tak ingin cepat pulang, bertemu dengan ibu dan adik-adiknya di rumah kontrakan empat petak itu. Ada hati yang ingin ia biarkan terhempas dan menyendiri.
****
Hari ini Tanggal 28 Juli. 7 tahun sudah ayahnya pergi meninggalkan, di tanggal ini ia kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Sebuah rasa kehilangan luar biasa bagi seorang Valen Rahadian Akbar. Ayahnya pergi meninggalkannya diantara masalah hati dan perasaan yang memenuhi keduanya. Perbedaan keyakinan telah membuat keduanya terhempas cukup jauh. Bahkan ia sudah lupa bagaimana perasaan yang seharusnya hadir dalam hubungan ayah dan anak itu. Tapi itulah kenyataannya, sesuatu yang dulu terasa begitu dekat, kini hilang sudah.
Valen menarik napasnya dalam-dalam. Ia berhenti pada sebuah shelter dan duduk termangu memandang gerimis. Mengamati angkasa yang berganti ke layar angkasa. Sesekali petir mengaburkan lamunannya. Terkadang ia merasa tidak bisa menjadi anak yang berbakti kepada orangtuanya. Terutama ayahnya. Padahal ayahnyalah yang selalu menyemangati dirinya, melewati hari-hari sulit dalam hidup mereka menjadi begitu menyenangkan. Ayah terhebat yang pernah mengisi relung-relung hatinya dengan mimpi-mimpi akan keberhasilan. Namun ada sisi hati Valen yang begitu religius dan memanggil dirinya untuk menjadi seorang muslim. Valen Rahadian Akbar, adalah seorang mualaf. Salah satu contoh dari sekian banyak mualaf yang yang harus berkorban demi kecintaannya terhadap Tuhan yang ia yakini kebenarannya, Allah SWT. Satu-satunya kenangan yang tidak pernah ingin ia lepaskan dari ayahnya adalah namanya sendiri. Valen hanya menambahkan ‘Akbar’ diakhir namanya setelah ia mualaf. Bukti bahwa cinta itu masih ada, sayang itu masih ada, kenangan kebersamaan itu juga masih ada. Namun sayang, kejujurannya dalam menemukan jati dirinya pada Islam, justru berbuah perpecahan. Sungguh, kejujuran yang menyakitkan bagi Valen.
Valen masih mengedarkan pandangannya diantara gerimis yang mulai berganti wujud menjadi hujan deras. Beberapa pengendara motor menghentikan perjalanannya dan mencari tempat di shelter yang cukup luas itu. Ia ingin menikmati dirinya dengan segenap perasaan yang memenuhi jiwanya. Waktu terasa begitu cepat, namun ia masih dalam perasaan bersalah tak berkesudahan. Kadang ia berpikir, mengapa Allah tidak menjadikannya sebagai seorang muslin sejak lahir, jika pada akhirnya, Allah membuka hatinya pada Islam saat ini. Mengapa ia harus melewati tahapan yang begitu menyakitkan. Mengapa harus ia dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Mengapa harus ia yang mengalami masalah sepelik ini.
Jarum pendek telah bergeser ke arah pukul lima sore, hujan yang lebat itu kini kembali menjadi gerimis. Beberapa pengendara motor yang berteduh kembali melanjutkan perjalanannya. Hujan deras yang begitu singkat. Awan yang tadinya mendung bergerak entah kemana. Ah, Andai saja masalah yang ia alami sesingkat hujan deras sore ini, pikirnya. Seorang pemulung dan anak laki-lakinya yang kira-kira baru merusia 8 tahun, mengambil tempat duduk di sebelah kanan Valen. Pemulung dengan wajah bersahaja itu, meraih putra kecilnya yang terlihat kedinginan karena terkena basahan hujan deras tadi. Ia memanggku putranya disertai dengan dekapan hangat khas seorang ayah. Membelai penuh lembut putranya, sesekali ia ciptakan gerakan ringan diantara kakinya agar si anak terasa lebih nyaman dalam dekapannya.
Insiden itu mengembalikan Valen pada sebuah kenangan. Senja seperti berputar pada tahun-tahun silam. Ia dan keluarganya. Si keluarga pemulung yang amat bahagia. Valen benar-benar melihat dirinya pada sosok anak kecil itu. Ia ingat betul saat-saat itu, saat ia harus menemani ayahnya mencari botol-botol bekas pada tempat-tempat pembuangan sampah. Berteman dengan lalat, bau, dan kotoran. Ia begitu menikmati, karena sang ayah yang baik itu selalu bersamanya. Saat beristirahat, ayahnya selalu menceritakan kisah-kisah religius yang sangat menggugah hatinya. Seorang Yesus yang begitu luar biasa mengorbankan dirinya untuk manusia. Kisah-kisah ketuhanan yang seharusnya membuat Valen kini bertambah taat dengan keyakinannya kala itu.
Ayah Valen adalah seorang khatolik yang taat, kesibukannya bekerja tidak membuatnya lupa akan kegiatannya mengunjungi Tuhan setiap minggu di gereja sederhana di pinggiran jantung kota Bogor. Gereja sederhana yang berada di belakang Kebun Raya Bogor itu adalah tempat ayah Valen mengadu tentang kehidupannya. Kesusahan hidupnya membuat seorang Rahadian bertambah yakin, bahwa suatu saat nanti di alam setelah dunia, Tuhan Allah telah menyediakan tempat terbaik untuk kemuarganya. Rahadian begitu ikhlas menjalani hari-harinya. Anak-anaknya yang masih kecil itu ia jadikan sebagai pribadi yang jujur dan sabar. Valen adalah anak tertua, ia tentu punya tempat tersendiri di hati ayahnya.
****
Valen kecil amat giat bekerja. Ia selalu memberi kejutan-kejutan kecil untuk keluarganya. Saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam, Valen sering mengendap-endap keluar dari rumahnya. Menuju sawah Pak Dito yang hanya berjarak 200 m dari rumah gubuknya. Pak Dito adalah tetangganya yang begitu ramah, baik dan terpelajar. Ada ritual yang begitu menyenangkan yang dilakukan oleh Valen saat malam hari. Setelah siang harinya meminta izin kepada Pak Dito untuk menyusuri persawahanhnya dan merahasiakan keinginan yang akan ia lakukan tersebut kepada orangtuanya, Pak Ditopun hanya bisa mengangguk dan mengeleng-geleng kepala. Pak Dito mengangguk mengizinkannya untuk mencari belut di sawah miliknya, tapi ia juga geleng-geleng kepala melihat keberanian anak itu. Pak Dito berpesan kepada Valen agar hati-hati, khawatir ada ular sawah yang malah ia temui. Bagi Valen yang baru menginjak SMP saat itu, ketakutannya dalam mencari belut pada malam hari telah berubah menjadi kebahagian tatkala paginya sang ibu menemukan puluhan belut di dapur pada pagi harinya. Ia dan keluarganya bisa makan enak pagi hari. Kemiskinan dapat mengubah rasa takut menjadi ribuan rasa syukur tatkala Pak Dito mengizinkannya untuk mencari rizki di persawahannya. Itulah yang membuat Valen semangat. Ibunya yang penuh pengertian itu akan memberikan pelukan hangat, sekalipun Valen tahu, ada kekhawatiran di hati ibunya akan keberanian dirinya. Namun, ibunya juga tahu, mereka perlu makan dan berhemat lebih ketat lagi jika ingin anak-anaknya bisa tetap bersekolah.
Kira-kira pukul sebelas malam, Valen sudah bersiap diri dengan alat seadanya. Ia membawa senter, parang dan ember. Ia pakai baju paling lusuh yang ia punya, sandal jepit yang bukan pasangannya yang ia temukan di tempat pembuangan sampah saat mencari botol-botol bekas, dan celana pendek diatas lutut untuk mempermudah gerakannya. Ia menyusuri jalan-jalan setapak yang masih jarang sekali ada lampu. Malam begitu syahdu dengan nyanyian jangkrik di kanan kiri jalan. Valen masih ingat, bagaimana kawasan jambu dua beberapa tahun yang lalu, kala ia masih SMP. Dulu di kawasan ini masih sangat sepi, jalan raya masih sempit belum diperlebar seperti sekarang ini. Apalagi kawasan perkampungannya, masih banyak sawah dan jarang perumahan. Semakin ia melangkahkah kakinya, semakin kuat ia membayangkan hidangan nikmat esok pagi. Tidak sampai 20 menit, Valen sudah sampai di persawahan Pak Dito. Tampaklah padi-padi yang baru berusia tiga minggu itu. Setelah usai panen di musim pertama, tanah-tanah di sawah Pak Dito yang gembur itu, ditanami padi kembali. Kini usia padi itu sudah menginjak minggu ke tiga. Betapa senangnya ia membayangkan banyaknya belut yang akan ia dapatkan, karena ia tahu disaat seperti ini, belut-beut di sawah Pak Dito mudah ditemui, apalagi sejak kemarin hujan sempat mengguyur kota Bogor, sebuah kondisi yang sangat disukai oleh belut-belut yang akan akan keluar dari persembunyiannya untuk mencari makan.
****
Diantara gelapnya malam yang mendung, alunan nyanyian katak dan dinginnya udara malam itu, Valen mengumpulkan segenap tenaganya untuk menyisir tempat demi tempat di persawahan tersebut. Akhirnya pandangan Valen menangkap bayangan yang gemerlapan di terpa cahaya senternya, seekor belut cukup besar bergerak di antara padi-padi yang masih muda. Dengan berhati-hati dan penuh cekatan, Valen melemparkan parangnya dengan posisi terbalik kearah belut tersebut, bagian tumpul yang merupakan bagian punggung pada parang menelusup ke dalam lumpur di sekitar sawah. Cekatannya Valen sehingga membuat punggung parang itu mengenai belut sehingga belut tersebut tertindih dan tidak bisa bergerak lagi. Beberapa detik saja sang belut sudah lemas kehabisan energi. Dengan hati-hati, Valen menelusuri sawah, mengambil belut yang sudah lemas kehabisan energi karena berusaha dari kuatnya tekanan punggung parang yang menancap pada lumpur sawah, dengan tangan terbuka dan mengandalkan intuisinya, tangannya meraba-raba tempat dimana belut tersebut tertindih oleh punggung parang, untuk selanjutnya ia masukkan ke dalam ember kecil yang sudah ia bawa. Inilah cara jitu menangkap belut dengan tidak membuatnya tercabik-cabik. Ayahnya yang telah mengajarkan Valen, dulu ia menangkap belut dengan cara menyabitnya dengan posisi bagian yang tajam menghantam sang belut, sehingga, belut terbagi menjadi dua bagian, biasanya posisi depan belut masih bisa berlari walau sudah terpotong. Setelah ayahnya mengajarkan menangkap belut dengan baik, Valen semakin senang dengan ritualnya malamnya itu. Ia bisa mendapatkan lebih dari sepuluh belut dalam satu malam.
****
Kisah keberanian Valen, menjadi kebanggaan tersendiri untuk dirinya. Namun sesekali Valen merasa ketakutan dalam mencari belut di sawah Pak Dito. Pernah suatu malam kala ia ingin mencari belut di sawah Pak Dito, belum setengah perjalanan, ia bertemu dengan ular besar yang sedang melintas, jantungnya berdebar, perasaannya tidak enak, tapi ia masih melanjutkan perjalanannya. Setelah sampai di pinggir sungai dekat sawah Pak Dito, ia kembali menemukan ular sawah yang jauh lebih besar, kini perasaannya takut bukan kepalang. Hingga akhirnya untuk yang ketiga kalinya, diantara padi-padi yang baru tumbuh itu, kembali ia melihat sesosok ular yang jauh lebih besar lagi. Kali ini ia gemetar menahan senternya menyaksikan bianatang melata itu terdiam, begini caranya agar terhindar dari kejaran ular. Ia terus menyorotkan lampu senternya pada ular besar tersebut, sambil mempersiapkan dirinya untuk mengambil langkah seribu meninggalkan persawahan. Saat ia sudah meyakinkan dirinya untuk siap berlari, Valenpun mematikan senternya dan bergegas berlari sekuat tenaga dari sawah itu. Ia berlari menelusuri pinggiran sungai, sesekali ia harus terseok karena tanah-tanah yang baru diguyur hujan itu sangat licin dan lembek. Ia melewati jalan-jalan setapak yang sepi dan terus berlari. Jantungnya semakin berdebar kencang, hatinya bertanya heran dan ketakutan, mengapa ia harus bertemu dengan tiga ular besar malam itu, ia terus berlari tanpa henti sambil berpikir, jangan-jangan penghuni sawah Pak Dito marah, karena ia terlalu sering mengambil belut-belut disana. Kini pikiran anak-anaknya muncul tiba-tiba. Sesampainya di belakang rumahnya, ia masih mendapati dirinya dalam keadaan ketakutan, napasnya terengah-engah, antara takut, sedih dan kecewa terhadap dirinya yang pengecut malam itu. Valen sedih karena esok pagi ia tidak sarapan belut sebelum berangkat ke sekolah.
Tapi begitulah Valen kecil yang masih sangat labil dan belum bisa menerima kenyataan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam hidupnya. Namun, Valen tetaplah Valen. Remaja tanggung yang tak mau kalah dengan lapar dan kemiskinan yang mendera keluarganya. Apapun yang terjadi, ritual mencari belut akan tetap menjadi ritual paling menakjubkan di sepanjang masa kecilnya.
Valen belum tahu, bahwa sebenarnya ia memang terlahir untuk berani menghadapi segala kemungkinan dalam hidup, termasuk saat Allah memberikan hidayah kepadanya, Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu telah menjawab pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Ia pertama kali mendapatkan hidayah itu melalui Pak Dito, beliau adalah seorang muslim yang taat. Pak Dito asli Solo, namun sejak 20 tahun yang lalu, ia pindah ke Bogor untuk memenuhi permintaan istrinya tinggal di tanah Sunda kelahiran istrinya, Murni. Dengan kualitas yang dimiliki oleh Pak Dito sebagai orang Jawa yang tangguh, ia menjalani bisnisnya di awal kepindahannya itu dengan membuat kios sembako hasil dari menjual tanah warisan miliknya di Solo. Ia juga membuat rumah sederhana untuk istrinya. Pak Dito yang sudah yatim piatu dan menjadi pewaris tunggal orangtuanya itu membuka lembaran barunya di kota hujan, Bogor.
Pak Dito adalah seorang yang terpelajar, ia adalah lulusan terbaik Gontor, Ponorogo. Pertemuannya dengan Murni adalah sebuah rahasia Allah, ia dan Murni bertemu di Jakarta. Murni yang waktu itu ingin mencari pekerjaan di Jakarta, dkenalkan oleh teman SMA nya Rukhiyah yang bekerja sebagai pengasuh anak di rumah paman Pak Dito. Pak Dito yang waktu itu sedang liburan ke tempat pamannya di Jakarta, begitu kagum dengan sikap Murni yang sangat menjaga dengan lawan jenisnya. Begitu singkatnya Allah membukakan jalan untuk mereka berdua. Murni yang begitu lugu sanagt menarik perhatian Dito. Dito tak peduli apakah Murni terpelajar atau tidak, yang terpenting ia menginginkan perempuan berjilbab yang baik dan sholehan, dan ia mendapatkan itu semua pada diri Murni. Meskipun pengetahuan agama Murni masih sedikit, Dito tahu, ada surga dalam hati Murni. Ia berjanji akan menjadi imam yang baik dan mengajarkan agama kepada Murni. Akhirnya Murni tidak jadi mencari pekerjaan di Jakarta, ia pulang ke Bogor dan menikah dengan Dito. Sungguh, laki-laki baik hanya untuk perempuan yang baik begitupula sebaliknya.
****
Pak Dito memiliki anak bernama Ari, ia sebaya dengan Valen. Biasanya saat hari Minggu atau ketika ayahnya Valen tidak terlalu sibuk memulung,Valen bermain bersama Ari di rumah Pak Dito. Tak jarang, Valen mengajak adik-adiknya untuk ikut bermain bersama di rumah Pak Dito. Jarak rumah Valen dan Ari cukup dekat, hanya berselang tiga rumah. Pak Dito sangat baik dan ramah pada keluarga khatolik tersebut. Adik-adik Valen yang masih SD sangat senang berada di rumah Pak Dito, disana mereka bisa bermain congklak, bola bekel dan lompat tali. Bu Murni membeli mainan tersebut agar bisa membuat teman-teman Ari, anaknya senang.
Bangunan sederhana itu terlihat indah, teras yang dibuat luas dengan kelilingi bunga-bunga khas pedesaan menghiasi halaman rumah Pak Dito. Di pekarangan rumah terlihat Ari dan Valen sedang asik bermain engrang, engrang yang dibuat sendiri oleh Pak Dito, Bu Murni tengah sibuk menggoreng pisang, ia memang senang membuat teman-teman anaknya betah bermain di rumah mereka. Adik-adik Valen pun tengan asik bermain congklak, saat pisang goreng matang, biasanya Bu Murni memanggil dan mengajak untuk berkumpul untuk menikmati pisang goreng buatannya. Valen yang tangannya kotor sehabis bermain engrang, meminta izin kepada Bu Murni untuk mencuci tangannya di kamar mandi. Saat itulah ia mendengar Pak Dito membaca Al Qur’an. Tak jarang ia mendengar Pak Dito membaca kitab suci umat Islam tersebut, dan itu membuat Valen selalu ingin mendengarnya lagi. Lantunan yang begitu syahdu didengar, bahkan salah satu motivasi mengapa ia sangat senang bermain di rumah Pak Dito yaitu, ia ingin mendengar bacaan Al Qur’an Pak Dito. Ia tak tahu mengapa ia begitu tertarik dengan Al Qur’an, Valen kecil tidak pernah berpikir macam-macam selain hanya yang ia tahu, bahwa Al Qur’an telah membuatnya begitu nyaman. Valen sering mendengar anak-anak mengaji di pengajian kampungnya, saat ia melewati depan TPA sehabis pulang sekolah atau di sekolahnya jika ada temannya yang belajar Juz Amma’, namun lantunan ayat suci yang dibacakan Pak Dito, sungguh tak biasa. Begitu merdu dan sejuk di hati Valen. Itulah hidayah pertama yang ia dapatkan dari Allah SWT. Valen kecil yang begitu cerdas, menangkap sinyal-sinyal ketuhanan melalui lantunan ayat suci Al Qur’an, namun Valen kecil tetaplah anak kecil yang belum mengerti banyak hal tentang agama. Yang ia tahu hanya satu, ia begitu tertarik dengan Al Qur’an.
****
Kini hujan sudah benar-benar berhenti, Valen masih menikmati lamunannya di shelter tersebut. Ia seperti habis berpetualang di alam bawah sadarnya. Valen menarik napas dalam-dalam. Masa kecilnya yang begitu mengharukan membuat kini ia menjadi orang yang tegar dan sabar.
“Astagfirullah, sudah pukul setengah enam sore!” Teriaknya dalam hati, Valen bergegas berdiri menyongsong angkot jurusan Sala Benda pertama yang mendekat. Valen berharap semoga jalan ia ambil kelak dapat mengumpulkan keluarganya di surganya Allah. Dalam detik napasnya ia memohon agar Allah juga memberikan hidayah kepada ibu dan adik-adiknya. “Allah, kuatkanlah aku…” doanya dalam hati.
aku malu berharap Engkau mengerti lagi,
atas kesalahan yang pernah aku perbuat
hati dan perasaanku mulai teruji,
selembut doa dalam hati Kau mengetahui
kala panggilan-Mu, aku mohon ampunilah aku
aku bersujud…
aku berdoa…
hanyalah pada-Mu, Tuhan..
aku memohon keringanan hati menentukan pilihan
menuju RahmatMu, Ya Tuhanku… Ya Allah…
( aku bersujud – Irwan-Acha )
BAGIAN 5
BIARLAH, JIKA HARUS JUJUR
Dalam Tahajudnya, Prima Aditya masih menikmati sujud yang begitu menjadi kebutuhan baginya. Ternyata tak mudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Anak yang sholeh, istri yang pengertian, dan keluarga yang harmonis. Apa yang salah dengan dirinya, ia sudah berusaha menjadi suami dan ayah terbaik bagi keluarganya, namun yang ia dapatkan justru penolakan demi penolakan. Bahkan ketika ia menginginkan kesuksesan untuk Savindra, anaknya. Savindra memang melaksanakan apa yang ia inginkan, kuliah pada jurusa Tekhnik Sipil, namun ia tidak merasakan ruh rasa syukur dan wujud terimakasih anaknya tersebut terhadap pendidikan yang ia berikan. Masih ingat dalam benaknya, bagaimana dulu ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk berkuliah, mencari kerja, menjadi kuli-kuli bangunan bahkan berjualan buah Manggis di pasar anyar, tetap saja uangnya tidak cukup untuk melanjutkan kuliahnya. Ia hanya lulusan lembaga-lembaga kursus kualitas standar dengan biaya murah yang bahkan kadang ia tak mampu dan menunggak untuk membayar biayanya. Semangatnya untuk menjadi orang cerdas memang luar biasa, dan mengantarnya hingga seperti saat ini.
****
Dalam sujudnya, Prima Aditya membayangkan Savindra kecil yang begitu lugu dan penuh dengan cita-cita. Savindra kecil yang jika ditanya mau jadi apa jika sudah besar nanti, selalu menjawab ‘mau jadi astronout’. Savindra yang begitu menyayanginya dan selalu membuatnya rindu. Dalam sujudnya itupun terbayang wajah istrinya yang dulu selalu memahami keadaanya di kala susah, perempuan yang selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh mengahadapi susahnya hidup itu kini telah berubah menjadi sosok yang tidak sejalan lagi dengan pikirannya. Pola asuh yang berbeda dalam mendidik Savindra telah membuat banyak perbedaan diantara mereka berdua.
Dalam sujudnya, Prima Aditya tak dapat menampung lagi isak tangisnya. Anak kebanggaannya itu mungkin kini telah menemukan jati dirinya. Mungkin ia memang terlalu pemaksa dan otoriter. Tapi semua yang ia lakukan adalah bentuk cintanya terhadap Savindra dan juga amanah dari ayah kandung Savindra. Haruskah ia jujur kepada anak itu mengenai statusnya, jika memang ia sudah tidak lagi dianggap ada.
Prima Aditya bangkit dari sujudnya, menyelesaikan bagian-bagian terakhir dalam shalat malamnya. Setelah selesai menyelesaikan dzikir, Prima Aditya masih menyisakan punggungnya yang berguncang hebat. Tangisan itu belum berhenti. Ia menengadahkan tangan tangan dan berdoa dalam desahan dan tangisan.
****
Di tempat Desi berdiri, ia memperhatikan punggung suaminya yang berguncang hebat karena tangisan. Mushala kecil di rumahnya itu menjadi saksi kebersamaannya dengan sesuatu yang dulu ia miliki, sesuatu yang dinamakan keluarga. Desi tahu betul apa yang dirasakan Prima Adtya, anak yang ia harapkan menjadi partner terbaik dalam hidupnya malah menjadikannya orang paling menderita karena kesedihan tak diakui sebagai orangtua, sekalipun Desi tahu Prima Aditya memang bukan ayah kandung dari Savindra. Ketakutan luar biasa kerap menghantui Desi. Ia takut Prima Aditya tak peduli lagi dengan anak tirinya itu, ia bingung apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga kecilnya yang bahagia itu. Setelah Savindra beranjak dewasa, gambaran keluarga kecil nan bahagia itu sirna seiring berjalannya waktu. Siapa yang seharusnya Desi salahkan, ia pun tak tahu. Yang jelas saat ini, ia hanya takut kehilangan keduanya. Menjadi sesorang yang berada diantara dua orang yang dicintai memang sangat dilematis. Ia hanya berusaha untuk adil terhadap keduanya Kadang ia berpikir, apa ia harus jujur kepada Savindra tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya ia bersikap kepada seorang Prima Aditya, sosok laki-laki yang mau menerima dirinya dan Savindra kecil kala itu. Kala Desi harus kehilangan suaminya karena kanker otak. Prima Adityalah yang akhirnya menikahinya saat Savindra berusia 1 tahun 2 bulan, Prima Aditya juga yang memberikan segenap cinta itu kepada Savindra. Prima Aditya telah berjanji kepada Faris, suaminya di saat detik-detik terakhir hidupnya, .bahwa ia akan selalu menjaga istri dan anak sahabatnya itu. Farispun pergi meninggalkan mereka dengan wajah penuh ketenangan dan keikhlasan.
****
Desi kembali ke kamarnya, berbaring, mencoba menutup mata dan berpikir jernih dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki.Pintu kamarnya terbuka, tampakya suaminya sudah selesai menyelesaikan tahajudnya itu. Prima Aditya menatap punggung istrinya yang sangat ia sayangi, ia pun menaiki ranjang tempat tidur. Entah mengapa, tiba-tiba rasa ingin saling mencintai diantaranya hadir kembali. Lelah sudah dalam pertengkaran demi pertengkaran yang mereka alami. Pertama Prima takut untuk menyentuh punggung istrinya, namun akhirnya, jari-jari kekarnya itu mengusap lembut punggung Desi dan akhirnya membiarkan tangannya memeluk lingkaran pinggang Desi.
Prima begitu tenang hati kala mendapati Desi dalam dekapannya, sekalipun ia tidak mendapatkan wajah cantik istrinya itu. Ciuman lembut menerpa punggung. Ada yang berdesir di hati, indah dan begitu bersahaja. Sebuah perasaan yang telah lama ia rindukan. Tanpa sadar Desi menitikkan air mata. Malam itu, menjadi tidurnya yang paling indah setelah sekian lama, ia merasakan begitu banyak perbedaan dalam keluarganya. Desi berdesir… bergemuruh…. Dan menemukan cintanya kembali.
Sepanjang hidup bersamamu,
Kesetianku tulus untukmu,
Hingga akhir waktu…
Kaulah cintaku…
BAGIAN 6
KARENA CINTA BUTUH PENGORBANAN
Langit cerah menghiasi kota Bogor, angin yang bersahaja menerpa wajah manis Chimut. Hari ini ia begitu bersemangat karena jam perkuliahan pertama adalah mata kuliah Psikologi Pendidikan yang diajarkan oleh Ibu Nadya Jafar. Bagi Chimut, 2 SKS bersama Bu Nadya, masih membuat ia merasa belum cukup menikmati ceramah demi ceramah yang disampaikan oleh Bu Nadya. Dosen kesayangannya itu mengajar dua mata kuliah, yaitu Ilmu Pendidikan dan Psikologi Pendidikan. Dua mata kuliah yang sangat diminati Chimut.
****
“Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik” Bu Nadya menjelaskan dengan serius.
“Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak. Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari” Sambung Bu Nadya
“Sampai disini, ada yang mau bertanya?” Bu Nadya mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, pandangannya berhenti pada gadis berkerudung coklat yang duduk di pojok kiri, baris kedua. Chimut mengangkat tangannya.
“Ya, ada apa Chiara?” Tanya Bu Nadya
“Jadi, cara lama dalam mengajar itu, apa harus benar-benar kita singkirkan, bu?” Dahinya berkerut, heran. Ia merasa selama ini pendidikan model lama yang ia lihat dari orangtuanya yang mengajar di SD negeri sangat mumpuni.
Bu Nadya tersenyum, berjalan pelan ke tengah kelas, beridiri pada bagian paling simestris dalam ruangan itu.
“Chiara, Cara lama tidak selalu buruk, bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka”
Chiara mengangguk, apapun yang Bu Nadya katakan, selalu membuatnya merasa jauh lebih maju dan lebih siap menghadapi pekerjaan menjadi seorang tenaga pendidik kelak.
****
Setelah pelajaran Bu Nadya usai, Chimut dan Indri bergegas menuju kantin di kampusnya. Seperti biasa Indri memesan ketoprak Mang Husein kesukaannya, sedang Indri memesan bakso urat Pak Warsio. Indri tidak sabar untuk menanyakan perkembangan surat cintanya kepada Chimut. Bibirnya senyam senyum memperhatikan Chimut, Chimut sampai salah tingkah dibuatnya.
“Loe kenapa sih, Ndri, takut gue jadinya dilihatin gitu sama loe!”
“Nggak…. Gue Cuma ada perlu dikit sma loe… dikit aja, gak banyak koq!” Terang Indri
“Jadi, ada apakah gerangan Indri sayang?” Tanya Chimut
“Ya udah, loe selesain makan loe dulu aja!” Indri tersenyum manis
Yang dikasih senyuman malah jadi tambah merinding,
Kini, makanan yang merasa santap sudah habis, Indri telah mengumpulkan segenap kekuatannya untuk mengungkapkan apa yang ia tanyakan kepada Chimut.
“Mut?”
“Apa…”
“Gue mau tanya sesuatu sama loe..”
“Tentang apa?” Tanya Chimut
“Tentang…. surat cinta gue…”
“Oh…” Jawab Chimut datar
“Ya, jadi gimana…”
“Gimana apanya?” Tanya Indri penasaran
“Lho, kok ngomongnya gitu sih, loe itu tim sukses gue, jadi loe mesti atusias dengan kisah cinta gue ini…” jelas Indri
“Iya… iya, lalu, apa yang mesti gue jelasin ke loe?”
“Ya, gimana tentang surat gue, Mut?”
“Ok.. ok…! Surat loe udah gue kasih ke Valen.” Jawab Chimut singkat
“Terus…?” Tanya Indri makin penasaran
“Gue gak tau harus gimana waktu itu, karena gue sendiri lagi ada insiden sama cowok Tekhnik pas gue mau ngasih surat ini ke Valen, jadi gue emang kacau banget. Tapi yang jelas, surat loe udah gue kasih kok!” Terang Chimut
“Ekspresinya gimana, Mut?” Tanya Indri dengan penuh antusias
“Soal ekspresi, gue ga tahu, Ndri! Gue langsung pergi gitu aja, habis ngasih surat loe ke Valen… Sorry….” Ucap Chimut singkat
No comments:
Post a Comment